Indonesia

Menjadi Bangsa yang Merdeka

by Syafrein Effendiuz
Syafrein Effendiuz Senior  
Penulis: Yorrys Raweyai, Ketua Umum AMPG

Momen proklamasi kemerdekaan Indonesia kembali menyapa. Ironisnya, momen itu hadir di kala bangsa ini masih tertatih-tatih untuk membuktikan dirinya bangsa yang merdeka. Segudang persoalan masih menganga di depan mata. Baru-baru ini kita terhenyak oleh ragam aksi bernuansa separatis yang mengancam keutuhan NKRI. Runtuhnya jati diri sebagai bangsa yang kuat dan utuh seakan belum pulih.

Sebagian besar rakyat masih digelayuti ketidakpercayaan atas peran lembaga kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk mengeluarkan mereka dari kubangan krisis multidimensi. Peran partai politik yang seharusnya menjadi katalisator aspirasi dalam tatanan masyarakat politik tak jua terwujud. Alih-alih mewakili aspirasi mereka, eksistensi partai hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan.

Ironi

Kemerdekaan lahir dari semangat dan visi kebangsaan yang awalnya digagas secara komunal dan menyeruak menjadi semangat nasionalisme yang utuh dalam makna yang sesungguhnya, yakni keinginan untuk menjadi bangsa merdeka yang diaktualisasikan dengan berdirinya Republik Indonesia lewat simbolisasi sakral momen Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Realitas sosial dan politik memasuki babak baru di bawah naungan pemerintahan yang bercorak republik. Kemerdekaan yang memiliki makna kebebasan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) kita peroleh.

Berawal dari situlah bangsa ini memasuki dan mengakhiri babak demi babak kekuasaan dengan berbagai tipikal penguasa yang mengisi kemerdekaan dengan pemaknaan mereka masing-masing. Hingga tiba pada era reformasi yang juga mengusung jargon perubahan. Meski perubahan saat itu tidak lagi bermakna kebebasan dari penjara fisik kolonialisme, kebebasan dari penjara ideologi, otoritarianisme dan fanatisme politik Orde Baru. Bedanya, pihak yang mengekspansi kekuasaan dengan totalisasi adalah bagian dari bangsa sendiri.

Pijakan awal reformasi adalah masa transisi menuju demokrasi. Saat keran-keran pengatup kebebasan terbuka lebar, air kebebasan mengalir deras dan terkadang tidak mampu ditampung dengan baik. Alih-alih berharap pada perubahan yang sesungguhnya, saat memori proklamasi yang telah melampaui 'masa emas' kembali menyapa, isyarat sebagai bangsa yang merdeka masih sebatas simbol. Sementara itu, entitas individu dan masyarakat sebagai bagian dari bangsa yang merdeka tak kunjung diraih secara utuh.

Lebih dari setengah abad bangsa ini berbenah diri mengisi kemerdekaan, namun masih menyisakan pertanyaan besar di benak kita. Apakah realitas bangsa yang merdeka menyisakan pihak-pihak yang marginal dan tidak terurus? Jika kemerdekaan bermakna kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, mengapa penentuan nasib tersebut harus dengan menggantungkan harapan pada pihak penguasa modal yang cenderung melepaskan identitas dan jati diri bangsa? Kemerdekaan milik setiap orang. Namun mengapa kesempatan sosial, politik, dan ekonomi hanya didominasi kelompok mayoritas?

Akar nasionalisme

'Menjadi bangsa yang merdeka' tidak lepas dari pemahaman utuh tentang nasionalisme. Indonesia merupakan negara-bangsa yang majemuk. Benedict Anderson menyebut Indonesia sebagai imagine communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, kemudian ia disatukan cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan yang disebut nasionalisme yang berdimensi sensoris. Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi dan berbagai unsur atau kelompok masyarakat dikendalikan dengan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak mengenal dan memahami kelompok lain.

Dalam kondisi itulah kita patut kembali pada gagasan awal pendirian bangsa ini. Saat itu, dalam benak Soekarno-Hatta, Indonesia adalah kolektivitas politik, yaitu sebuah komunitas berukuran besar dan maju dalam kecerahan politik. Komunitas itu lalu berdiri di atas prinsip-prinsip egalite, fraternite, dan liberte (persamaan, persaudaraan, dan kebebasan). Tiga prinsip itu melampaui dan mengatasi ikatan-ikatan primordial, seperti etnik, ras, dan agama. Nation adalah komunitas politik yang ditakdirkan untuk menyantuni pluralitas, seperti halnya demokrasi.

Ajaran kolektivisme itulah yang mewarnai pemikiran kedua proklamator tersebut dalam bidang ekonomi yang mengusung prinsip kesejahteraan. Dalam batang tubuh UUD 1945 sangat jelas ditegaskan bahwa tujuan bangsa yang merdeka adalah menciptakan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Selama ini unsur tersebut sulit terpenuhi sebab rakyat kita difungsikan sebagai objek dari proyek nasionalisme.

Pada latar sosial, mereka adalah objek proses integrasi sosial dan bukan subjek yang menempatkan dirinya sebagai aktor sosial yang bergerak berdasarkan kondisi dan kebutuhan sosialnya. Sedangkan pada latar politik, mereka adalah objek kekuasaan lewat kebijakan politik. Kesan sebagai pihak yang dimobilisasi lebih lekat ketimbang sebagai subjek yang memiliki hak untuk berpartisipasi sesuai dengan pilihan rasionya. Rakyat seharusnya diberikan perangkat hak untuk mengembangkan kebudayaan dan identitasnya dengan penekanan pada penghargaan yang tinggi atas budaya dan identitas yang berbeda dengannya. Karena itu, pemberian hak itu tidak disertai dengan munculnya primordialitas baru.

Independensi diri

Kemerdekaan adalah buah dari perjuangan dan pengorbanan. Tatkala ia diperoleh, buah tersebut seharusnya mampu memotivasi adrenalin kemandirian bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Pada titik itulah profesionalisme menjadi pijakan utama bangsa dalam mengisi kemerdekaan. Namun realitasnya sungguh ironis, sebagian komponen bangsa justru berada dalam kubangan ketidakmandirian yang ditandai dengan ketergantungan pada struktur kekuasaan yang menindas. Aktivitas dalam kekuasaan yang idealnya berfungsi mewadahi aspirasi dan kebutuhan rakyat, justru berbalik memerah keuntungan di atas penderitaan rakyat.

Era revolusi membuat kita terbiasa tidak berdisiplin. Dengan adanya revolusi, kita menganggap kita tidak perlu disiplin. Semua kita atur sendiri dan semua milik kita sendiri. Tidak mengherankan penguasa baik di pusat maupun daerah menganggap wilayah mereka sebagai firma milik sendiri. Mereka lalu mencari untung untuk kepentingannya sendiri. Akibatnya 'menjadi bangsa yang merdeka' bagi mereka lebih merupakan 'menjadi bangsa yang pragmatis'.

Ada baiknya para penguasa saat ini meniru karakteristik kepemimpinan Soekarno dan Hatta saat bahu membahu membangun fondasi bangsa ini. Di masa revolusi dan awal kemerdekaan, Soekarno tampil sebagai sosok the nation builder. Sedangkan Hatta menjadi penengah berbagai kepentingan yang sedang berbenturan, khususnya saat eksistensi Pancasila sebagai ideologi dipersoalkan berbagai kalangan. Idealnya, pemimpin saat ini adalah sosok yang menggabungkan dua tipikal tersebut. Pemimpin yang mampu menerjemahkan hakikat bangsa yang merdeka di tengah situasi yang carut-marut adalah gabungan dari nation-state builder dan bercorak solidarity maker yang mampu mengajak rakyatnya untuk kembali percaya kemerdekaan itu pada dasarnya nyata di hadapan kita dan harus dimiliki sepenuhnya.

Mereka mampu membangun negeri ini dengan berbasis pada kebutuhan rakyat. Bukan atas kebutuhan pribadi atau konstituen politik. Ia harus menyadari partai politik sebagai kendaraan yang membawanya ke singgasana kekuasaan bergerak dalam realitas riil masyarakat. Janji-janji ideologi harus didukung kerja konkret dan berimplikasi pada perubahan dan perkembangan hidup masyarakat.

Saat ini, realitas sosial dan politik berada pada titik nadir terendah. Alih-alih berharap pada gagasan ideal partai politik sebagai katalisator perubahan yang menghubungkan kepentingan rakyat dengan kekuasaan, peran yang seharusnya dijalankan tak kunjung menuai hasil. Ironisnya, publik malah mengalihkan wacana lokomotif perubahan pada figur-figur pemimpin independen nonpartisan.

Dengan berkaca pada realitas tersebut, sulit berharap pada perubahan yang tercipta lewat pemimpin-pemimpin hasil racikan partai politik. Situasi internal partai yang tidak mencerminkan perubahan signifikan yang berorientasi pada perkembangan hidup rakyat akan berimbas pada karakteristik kepemimpinannya saat ia menduduki singgasana kekuasaan nasional.

'Menjadi bangsa yang merdeka' tidaklah mudah. Indonesia adalah bangsa yang lahir dari semangat revolusi dan perjuangan tanpa pamrih demi mewujudkan sebuah bangsa yang merdeka dan mandiri. Dalam rangka mengisi kemerdekaan, idealisme tersebut haruslah mendarah daging dalam pikiran dan watak seluruh komponen bangsa. Belum lagi ancaman disintegrasi bangsa yang acap kali mengintip di sela-sela kerapuhan identitas nasionalisme.

Karena itu meski tidaklah mudah, hakikat kemerdekaan bisa diraih jika kita mampu mengambil hikmah dari sejarah perjuangan bangsa ini. Soekarno, Hatta, dan para pendiri bangsa ini telah memberikan inspirasi tentang bagaimana merebut dan mengisi kemerdekaan. Saatnya inspirasi tersebut kita aktualisasikan sehingga momentum kemerdekaan yang ke-62 ini tidak sekadar menjadi momentum seremonial yang hampa makna.
Aug 19th 2007 22:31

Sponsor Ads


Comments

No comment, be the first to comment.
You are not yet a member of this group.